Oleh : Rahmatul Ummah
Alumni HIMAS, Sedang Menyelesaikan S2 di FISIP Unila)
Tanpa terasa usia HIMAS sudah beranjak 8 tahun (24 Februari 2001 – 24 Februari 2009), sebuah perjalanan yang tak bisa dikatakan pendek untuk sebuah organisasi yang dikelola oleh kelompok elit masyarakat (baca; mahasiswa), usia 8 tahun juga bukan waktu yang panjang untuk merealisasikan cita-cita ideal HIMAS. Namun, setidaknya usia 8 tahun bisa menjadi awal refleksi untuk mengukur dan mengevaluasi diri secara jujur, tentang apa yang telah dilakukan baik di tingkat internal HIMAS maupun untuk masyarakat.
Alumni HIMAS, Sedang Menyelesaikan S2 di FISIP Unila)
Tanpa terasa usia HIMAS sudah beranjak 8 tahun (24 Februari 2001 – 24 Februari 2009), sebuah perjalanan yang tak bisa dikatakan pendek untuk sebuah organisasi yang dikelola oleh kelompok elit masyarakat (baca; mahasiswa), usia 8 tahun juga bukan waktu yang panjang untuk merealisasikan cita-cita ideal HIMAS. Namun, setidaknya usia 8 tahun bisa menjadi awal refleksi untuk mengukur dan mengevaluasi diri secara jujur, tentang apa yang telah dilakukan baik di tingkat internal HIMAS maupun untuk masyarakat.
Sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan, HIMAS bergerak pada wilayah yang sangat luas, beragam pemikiran dan latar belakang. Keragaman kader-kader HIMAS harus selalu dimaknai sebagai asset dan potensi yang bisa dikembangkan menjadi energi perubahan. Banyaknya warna HIMAS laksana pelangi yang bisa menjadi jalan terindah untuk mencapai kesejahteraan. Untuk itu, sudah bukan saatnya lagi HIMAS kampanye tentang pluralisme, tetapi HIMAS harus sudah pada tahap internalisasi keragaman itu pada masing-masing kader untuk kembali sadar bahwa mereka punya kekayaan yang tidak dimiliki oleh organ lain yaitu berupa keragaman. Hanya kalau keragaman tersebut tidak dikelola dengan sebaik-baiknya maka yang timbul adalah persoalan-persoalan baru yang mengarah pada hal-hal yang negative dan kontra produktif.
Dalam upaya mengelola keragaman pendapat dan pemikiran yang ada menjadi sesuatu yang produktif, memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. HIMAS yang telah memproklamirkan diri sebagai sebuah organisasi perkaderan dan perjuangan, tentu saja akan menghadapi banyak tantangan, semisal perbedaan pendapat, saling merasa benar dan penting yang terkadang didasari egoisme – bahkan primordialisme – yang tentu saja jika tidak mendapatkan pengelolaan yang baik akan sangat tidak produktif bagi perkembangan HIMAS kedepan.
Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang sistematis dan terstruktur dengan baik, saya selalu menawarkan rumuskan pola kaderisasi yang bisa membangun ikatan emosional antar kader. Sehingga setiap kader HIMAS bisa mengelola perbedaan pendapat menjadi energi produktif menuju perbaikan HIMAS.
Banyaknya pendapat ketika menghadapi banyak masalah, adalah niscaya dan tidak mungkin dihindarkan. Jika dikelola dengan baik dan bijak maka akan lahir tindakan-tindakan cerdas, pun sebaliknya jika diselesaikan setengah meja, subyektif dan terkesan abai terhadap pendapat lain, maka perbedaan pendapat menjadi sumber perpecahan atau setidak-tidaknya menyulitkan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya tentu saja tidak maksimal. Dan hal itu akan sangat berpengaruh dalam proses perkaderan HIMAS berikutnya.
Menyikapi itu, sambil menunggu penyempurnaan tentang sistem kaderisasi HIMAS, penulis mencoba menawarkan beberapa tradisi yang perlu dibangkitkan oleh kader HIMAS supaya dapat menopang kaderisasi HIMAS untuk menjadikan keberagaman menjadi suatu faktor yang produktif., Pertama, Tradisi Ilmiah, Domain kerja HIMAS yang sangat luas dan rumit. tidak memungkinkan setiap kader mencerna, menganalisis, dan menyikapi berbagai persoalan tanpa memiliki keluasan ilmu pengetahuan dan kemampuan berfikir secara sistematis dan objektif. Hal itu mengharuskan kader HIMAS memiliki struktur pengetahuan yang kokoh dan kemampuan berpikir pada semua tingkatannya. Struktur kemampuan dan sistematika berpikir yang solid dari kader HIMAS dalam upaya meningkatkan kemampuan pembelajaran yang cepat merupakan suatu landasan yang utama. Tradisi ilmiah harus secepatnya ditumbuhkan di lingkungan kader HIMAS, jika HIMAS ingin tetap eksis dan kompetitif pada beberapa masa yang akan datang.
Banyak problem kepulauan yang memerlukan penyelasaian kader-kader HIMAS secara ilmiah, sepertia rasio jumlah anak usia sekolah dengan jumlah lembaga pendidikan, rasio tenaga pendidik dengan jumlah tenaga pendidik yang tersedia, jumlah bidan dengan jumlah ibu hamil dan jumlah balita, yang semuanya pasti tidak seimbang, sehingga menjadi kedzaliman sistematis kekuasaan, belum eksploitasi alam, pelayanan public (berapa jumlah penduduk yang memiliki akte kelahiran, akte nikah, akte perceraian, dan KTP bandingkan dengan yang tidak memiliki), maka hasilnya adalah akan bermuara pada kesimpulan bobroknya sistem administrasi kependudukan pemerintah Kabupaten Sumenep, dan ini semua perlu kajian yang mendalam dan sistematis dari seluruh kader HIMAS. Bahwa selama ini masyarakat tidak pernah bergerak untuk melakukan protes dan perlawanan karena mereka tidak memiliki cukup pengetahuan, dan HIMAS lah yang yang harus menjawab keterbatasan masyarakat itu, tentu saja dengan tindakan yang didasarkan pada nalar cerdas dan argumentative.
Kedua, Tradisi Verbalitas. Tradisi ini harus menjadi kebiasaan kader HIMAS untuk mengungkapkan pikiran dan gagasannya secara wajar, natural, dan apa adanya. Banyak kader HIMAS yang memiliki gagasan-gagasan yang cerdas, tetapi tidak membukanya kepada orang lain (kader HIMAS yang lainnya). Tradisi verbalitas ini sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk memiliki keberanian natural, dan kehormatan yang wajar. Sehingga sebagai kader HIMAS harus senantiasa aktif dalam berbagai diskusi untuk mencurahkan ide dan gagasannya. Syukur-syukur jika tradisi ini kemudian dikembangkan kepada tradisi menulis, merekam gagasan-gagasan cerdas dalam diskusi ke dalam sebuah tulisan.
Ketiga, Pembelajaran Kolektif. Setiap individu punya kewajiban untuk selalu belajar, Kader HIMAS-pun juga harus senantiasa belajar menuju arah perbaikan, baik melalui referensi normatif maupun pegalaman historis. Perjalanan HIMAS bagaikan mata rantai pengalaman manusia (kader HIMAS) yang relatif dan tidak terputus. Tentu saja hal ini akan rentan terhadap kesalahan dan kelemahan, baik itu yang berasal dari aturan atau norma kultur atau tingkah laku yang berada di dalamnya.
Sebagai kader HIMAS, kita harus belajar meningkatkan kemampuan kerja, efisiensi, dan efektifitas. Untuk itu, kita harus memiliki semangat dan kejujuran (integritas) yang memadai untuk senantiasa belajar, termasuk di dalamnya mendengar semua pendapat (kader HIMAS yang lainnya) yang sangat beragam, dalam upaya mencerna, menganalisis dan memikir ulang pendapat orang lain tersebut.
Keempat, tradisi Toleransi. Kader HIMAS, harus membiasakan diri untuk memiliki kelapangan dada, kerendahan hati dan membebaskan diri dari kepicikan, prasangka buruk, serta dapat mengkondisikan diri untuk selalu disiplin. Hal itu yang membuat seorang kader HIMAS dapat toleran dengan orang lain, sebagai ukuran keluasan ilmu dan wawasannya. Hal itu yang membantunya memahami orang lain secara tepat dan memahami alasan-alasan yang mendorong seorang kader HIMAS lainnya memiliki sebuah sikap tertentu. HIMAS memang harus menemukan 'sosok dirinya' atau kesejatian dirinya, sehingga mahasiswa dari kepulauan Sapeken tidak menjadi bingung apa yang sebenarnya dicari ketika hendak bergabung dengan HIMAS.
Penulis meyakini, HIMAS memang memiliki 'kekayaan' dalam berbagai hal, namun yang menjadi persoalan klasik ialah komitmen kader HIMAS dalam usaha memanage organisasi ini. Harapan penulis, dengan beberapa tradisi tersebut kader HIMAS yang beragam dan pasti berbeda itu akan merasakan kenyamanan berhimpun dengan HIMAS, karena adanya keseimbangan yang indah antara kebebasan dan tanggung jawab, antara keburukan dan keterkendalian. Jangan Pernah bimbang 'tuk menatap masa depan, Hadapilah ia dengan penuh semangat optimisme dan komitmen (istiqomah) yang kita cita-citakan sebagai upaya perbaikan menuju masa depan kepulauan yang mandiri dan sejahtera. Wallahu a'lam bis shawab