Sumpah Pemuda, Otonomi dan Civil Society

Oleh : Rahmatul Ummah
Anak Muda Kepulauan dan Wakil Ketua I DPD KNPI Kota Metro)

Ritual 28 Oktober tidak pernah terlewatkan, sebuah peristiwa bersejarah yang menyatukan tekad kelompok muda negeri ini, untuk merebut kedaulatan Indonesia dari tangan penjajah. Pemuda Indonesia pada saat itu merasakan betapa persatuan menjadi hal yang teramat penting dan vital.

Setiap tanggal 28 Oktober sumpah itu kembali dibacakan ulang dengan rentetan serimonial lainnya. Sumpah kesatuan yang telah berusia 70 tahun itu terasa begitu sangat berharga untuk diingat, namun teramat jarang mendapatkan interpretasi kontekstual apalagi implemetansi semangatnya dalam konteks kekinian dan kedisinian.



Seharusnya sumpah pemuda mampu menemukan wajah barunya dalam konteks otonomi daerah, sehingga semangat kesatuan tidak lagi melulu diartikan sentralisasi dan keseragaman, tapi keberagaman dalam membangun daerah sesuai dengan sosio-kultural daerah.


Otonomi Daerah


Undang-Undang No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan melalui UU`No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan peran dominan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan aktivitas pemerintahan dan pembangunannya. Peran Pemerintah Provinsi tidak lebih mewakili Pemerintah Pusat untuk bertindak sebagai koordinator pembangunan lintas sektoral dan fungsi administratif pemerintahan lainnya.


Tak bisa dipungkiri, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi aktor utama pembangunan yang sesungguhnya dapat saja menentukan “arah” dan “model pelaksanaan” pembangunan di daerahnya. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada Langsung) dewasa ini kian menegaskan “teritori politik” dari Pemerintah Daerah yang berkuasa, mendapatkan legitimasi penuh dari rakyatnya. Imbasnya, Pemda seakan berada “di atas angin” untuk semua urusan pembangunan dan pemerintahannya.


Banyak kasus yang kita jumpai di daerah telah menggambarkan begitu otoriternya Pemerintah Daerah dalam menjalankan kebijakannya kepada rakyat sendiri. Minimnya sumber daya manusia yang secara strategis dapat mendesain model pembangunan partisipatif dan investatif di daerah-daerah, telah menjerumuskan banyak Pemerintah Daerah pada model pembangunan “eksploratif” semata, dengan karakteristik yang khas : peningkatan pajak dan retribusi daerah.


Jika melirik hasil evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, dari seluruh Kabupaten/Kota yang telah dimekarkan, beberapa di antaranya menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola daerahnya paska pemerkaran. Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan sebagai konsekuensi pemekaran, tak kunjung hadir. Bahkan, pada beberapa daerah, paska pemekaran telah menyisakan konflik horizontal antar warga yang hingga sekarang, tak kunjung usai. Beberapa daerah, yang karena hampir kollaps, kini diusulkan untuk dikembalikan pada daerah induknya sebagai upaya mencegah kepunahan demokrasi dan pembangunan di daerah tersebut. Kenyataan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua di daerah-daerah paska pemerkaran, maupun di daerah-daerah yang tengah berniat memekarkan diri. Hati-hati.

Pemuda dan Civil Society

Buruknya implikasi yang diakibatkan transisi demokrasi seperti ini, pada saat Otonomi Daerah menjadi primadona dalam kampanye politik kelompok kepentingan, semakin diperparah oleh tidak hadirnya kelompok civil society dalam mengawal agenda pembangunan di daerah. Civil society di sini sesungguhnya merupakan barisan intelektual dan moral yang secara terus-menerus melakukan advokasi dan monitoring terhadap segala “gerak-gerik” Pemerintah Daerah dalam program pembangunannya. Tidak mustahil, seperti yang telah banyak kita saksikan di daerah-daerah maju, kelompok ini dapat berfungsi ganda sebagai parlemen oposisi, tidak lain untuk menambal kinerja sebagian besar anggota DPRD Kabupaten/Kota yang “prestasi legislatif”-nya tidak begitu bagus.

Pada banyak daerah yang baru mekar, kultur aristokrasian menjadi momok yang sangat mengganggu bagi proses transisi demokrasi. Saat rakyat sudah merindukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Clean and Good Governance), kultur aristokrasi kembali menyuburkan praktek-praktek “miring” yang kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Lemahnya fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota, dan relatif dipengaruhinya institusi yudikatif daerah oleh eksekutif, serta minimnya pengawasan independen oleh civil society, telah menjadi alasan, mengapa praktek “pemerintahan purba” seperti di atas tumbuh subur seiring dengan tingginya budaya “nrimo” dan “permissif” masyarakat periferi kita. Ini ironi yang menyakitkan, karena jika terus dilakukan pembiaran, maka keadaan seperti ini nantinya justru akan dianggap sebuah kelaziman di daerah.

Tidak bisa tidak, masyarakat dan seluruh lapisan pemerintah daerah mesti senantiasa diingatkan fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Siapa yang bertugas melakukan ini? Tidak lain adalah kelompok muda yang terdidik, sebagai bagian inti dari masyarakat sipil (civil society) yang senantiasa mereproduksi wacana pembaharuan dan menegaskan pemihakannya atas demokratisasi pembangunan dan pemenuhan hak-hak sipil rakyat.

Harus ada semacam Civil Society Organization (CSO) yang menjadi kekuatan kontrol dan memegang peran strategis dalam mengawal agenda desentralisasi dan otonomi daerah saat ini. Peran-peran yang secara intelektual dan moriil sesungguhnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang (balancing of power) atas minimnya sumber daya manusia daerah serta kurang strategisnya konsep pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah daerah.

Organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan dengan latar belakang kedaerahan belakangan ini, sesungguhnya bisa menjadi angin segar bagi proses demokratisasi pembangunan di daerah, terutama yang paska pemekaran. Perhimpunan-perhimpunan ini, asal dibentuk dan dilandasi oleh semangat partisipatif intelektual, pada prinsipnya bisa segera mentransformasi diri menjadi, apa yang disebut di atas sebagai, civil society organization (CSO) dan berperan sebagai kelompok tengah (middle class).

Dalam upaya mengawal pembangunan dan memerankan diri sebagai “parlemen oposisi” di daerah, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan daerah bukan lagi harus terjebak menjadi sekadar “event organizer” kegiatan-kegiatan teknis di lapangan, melainkan lebih sebagai “dapur wacana” demokratisasi pembangunan. Organisasi kepemudaan di daerah mesti dapat melakukan penyeimbangan atas praktek pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan senantiasa melakukan kajian dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah dan institusi-institusi yang terkait di dalamnya. Bukan hanya itu, mereka juga harus berani melakukan tindakan korektif terhadap ketimpangan di daerahnya, jika diperlukan.

Pada konteks ini, kita mesti memahami pula bahwa, banyaknya kelompok kepentingan di daerah-daerah secara tidak langsung, telah membuka peluang bagi organisasi pemuda di daerah untuk “ditunggangi”, baik secara sadar maupun tidak. Karena itulah, maka mereka mesti mempersiapkan infrastruktur intelektual dan moralitasnya, berikut kekuatan jaringan antar kelompok-kelompok sepaham, sehingga peran strategis yang diembannya dapat diselenggarakan dengan benar dan tidak “terkontaminasi” oleh kepentingan pihak eksternal.

Sebagai kekuatan menengah yang berperan sebagai “parlemen oposisi”, mesti disadari beratnya tantangan yang akan dihadapi oleh organisasi pemuda di darah. Tidak mustahil mereka akan mendapatkan tekanan politik (political pressure) dari kelompok-kelompok kepentingan di daerah untuk bisa menyelamatkan agenda dan kepentingan mereka.
Sebagai fenomena lazim, minimnya sumber dana dan kekuatan finansial pada sebagian besar organisasi pemuda saat ini, menjadi portal of entry masuknya kekuatan modal besar yang bisa “membeli” organisasi pemuda di daerah dengan harga berapa saja. Pada titik inilah, pertarungan sejatinya baru berlangsung. Saat idealisme kemahasiswaan kita diperhadapkan dengan realitas kapital yang sesungguhnya sulit dibantah, kita juga sama butuhkan mau tidak mau, organisasi pemuda mesti memiliki semacam “imunitas keorganisasian” yang didesain sedemikian rupa dari setiap lapisannya, sehingga ketika berhadapan dengan kekuatan riil semacam itu, organisasi ini bisa tetap konsekuen dan konsisten dengan visi dan misi “kekuatan menengah”-nya.

Karena itulah, jika organisasi kepemudaan di daerah benar-benar sudah menyadari realitas pembangunan daerah saat ini dan “berniat” merubah pola gerakan menjadi “ parlemen oposisi”, maka setiap unsur di dalamnya mesti memiliki kesamaan visi dan pandangan tentang pentingnya mereposisi gerakan dan mengambil peran-peran strategis dalam pembangunan daerah. Menanggalkan relasi organisasi pemuda dengan kelompok-kelompok kepentingan dapat segera dilakukan sebagai prasyarat perwujudan independensi organisasi pemuda di daerah untuk merumuskan agenda oposisinya ke depan. Pada gilirannya, jika peran-peran sebagai “civil society ini dapat diperankan secara benar oleh organisasi kepemudaan, maka tidak mustahil, bargaining sosial dan politik organisasi pemuda menjadi semakin kuat, dan menjadi sangat mungkin pada suatu ketika,`justru mengalahkan hegemoni Pemerintah Daerah yang masih belum becus kerjanya. Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More